Wednesday, October 5, 2011

Rupa-rupa Wajah Indonesia di Pasar Gang Baru

Setiap jejak langkah yang saya ayunkan di sepanjang kawasan Pecinan pagi itu membawa pada nostalgia Semarang tempo dulu. Kehidupan berabad di belakang seakan hadir kembali. Ternyata saya  tak bisa mengatakan Indonesia ada, dengan mengabaikan keberadaan keturunan Tionghoa bagi negeri ini. Meski, tanah asal mereka sebenarnya berada nun jauh di Tiongkok sana.Bersama Manskii, Niken, dan Mas Nafik sang pendamping, kami berangkat dari hotel Merbabu di Jalan Pemuda Semarang pagi-pagi, usai breakfast. Spot-spot yang bisa dikunjungi wisatawan di Semarang saling berdekatan. Ini membuat beberapa tujuan wisata bisa dicapai dalam waktu yang singkat, tidak perlu seharian, apalagi berhari-hari.  Mengawali petualangan pagi itu, kami menyambangi pasar tradisional di Gang Baru, lokasinya tidak terlalu jauh dari Pecinan. Ternyata kunjungan kami tepat, karena pasar tradisional Gang Baru hanya buka sekitar pagi, pukul 5.00 WIB  sampai menjelang Zhuhur, pukul 12.00 WIB.Di pasar tradisional Gang Baru, di kiri dan kanan berjejer kios-kios yang rata-rata milik keturunan Tionghoa. Di antara kios itulah, tepatnya di badan jalan para penjual dan pembeli tumpah ruah. Barang-barang yang dijual sama dengan pasar lain, sayur-mayur, buah, kue dan masakan tradisional, hasil bumi, dan bahan dapur lainnya. Beberapa menjual aksesoris, perlengkapan sembayang, dan pakaian. Pasar tradisional ini seakan menjadi simpul keharmonisan masyarakat Semarang yang beragam agama, beragam etnis, dan status. Kami mudah sekali menemukan pembeli dari keturunan Tionghoa yang membeli gudek dari mbah-mbah yang sudah pasti wong jowo. Saya juga mengamati dua orang berpenutup kepala sedang bertransaksi. Biarawati yang membeli sayur-mayur pada seorang ibu berjilbab. Sebuah harmoni yang sebenarnya saling menguntungkan. Memenuhi toleransi, melegakan hati.Menelusuri Gang Baru dari ujung ke ujungnya, saya menemukan banyak jualan unik. Saya dibuat terkejut, akar tumbuhan ilalang liar pun bisa menjadi duit. Usut punya usut, ternyata akar ilalang berguna untuk mengobati masuk angin. Terlebih dulu direbus dan dicampur gula batu atau gula aren. Beberapa meter dari sana, ada juga penjual kide, bahan makanan semacam sosis yang dibuat dari endapan darah segar. Lalu ada juga sawi asem, jamur, rebung asem, dan sebagainya.Makanan tradisional yang kami temukan antara lain cetot, gendar, kue pandan, apem dan ketan. Makanan tradisional tersebut kabarnya sudah jarang ditemukan. Di Gang Baru, saya menghitung tidak sampai lima orang yang menjual makan yang kebanyakan berwarna cerah itu. Padahal penikmat makanan ini masih tetap banyak.Saya dan travel mate puas menikmati suasana hangan dan bertukar sapa dengan “penghuni tidak tetap” sehari-harinya pasar tradisional Gang Baru. Dengan diantar dua becak, kami menuju kawasan Pecinan. Gapura merah dengan ornamen naga menjadi icon kawasan yang dulunya menjadi pusat ekonomi Kota Semarang. Ruko, rumah, dan bangunan tua berjejer. Sebagian melapuk, tak berpenghuni, dan dingin. Menyimpan kenangan Semarang tempo dulu. Tapi tidak lama, kami segera hangat kembali begitu melihat banyak kelenteng di Pecinan. Puluhan kelenteng masih terjaga dan dirawat baik. Pada dasarnya berarsitektur sama, khas Chinese dengan warna merah terang. Hanya saja, kelenteng ini hanya melayani umat Konghucu, Tao, atau Buddha saja.Kelenteng bagi Tiga Agama.Saya tertarik dengan Kelenteng Besar Tay Kak Sie yang berhadapan dengan replika kapal Laksamana Cheng Ho di Jalan Lombok. Di Semarang, Kelenteng Tay Kak Sie adalah yang terlengkap “koleksi” dewa-dewanya. Ada tiga agama yang memanfaatkan kelenteng ini untuk beribadah, yaitu Buddha, Konghucu, dan Tao. Sekitar 20 patung dewa-dewa dalam mitologi Cina terjejer rapi. Dupa dan lilin yang menyala membuat suasana hening, kalau tak bisa dibilang sedikit mistis... Kelenteng Tay Kak Sie akan ramai jika ada salah satu dewa yang berulangtahun. Untuk membiayai kelenteng Tay Kak Sie, dan juga kelenteng-kelenteng lainnya, pengurus menerima donasi atau sumbangan penggunanya dan dari pengunjung. Beberapa kelenteng lain juga kami kunjungi, yang masih terdapat di satu kawasan. Ada Kelenteng Siu Hok Bio, kelenteng tertua di Semarang. Bentuknya kecil dan diapit pertokoan pinggir jalan. Akibatnya Kelenteng Siu Hok Bio tidak memiliki ruang terbuka di samping dan depannya.Lalu ada Kelenteng Wie Wie Kiong, kelenteng Dewa Tani. Seorang ibu bermata sipit sempat menyapa saya. Beliau baru saja beribadah dan sepertinya meminta berkah di bidang pertanian. Ibu ini membawa caping (penutup kepala petani) yang digunakannya saat beribadah. Kelenteng yang tidak kalah menarik adalah Kelenteng Dewi Laut yang bernama Sie Hok Kiong. Belum tuntas rasanya menikmati ragam kelenteng di Pecinan. Tapi kami harus menyudahinya karena ada tempat lain yang meminta dikunjungi. Petualangan wisata setengah hari itu pun berakhir di Lunpia Gang Lombok. Ketiga rekan memesan lunpia basah. Saya sendiri yang menikmati lunpiah goreng ditemani es kopyor yang super lembur teksturnya. Ehm... ini nikmat sekali.

Baca Selanjutnya.....

No comments:

Post a Comment